Namanya Supali (86) sambil tertatih-tatih dengan tongkatnya menghampiri Kompas.com yang mengunjungi kakek itu, Jumat (3/5/2019). Rumah mungil berukuran 3×4 meter itu lebih layak disebut gubuk. Rumah tersebut menjadi tempat tinggalnya selama setahun terakhir.
Gubuk yang ditinggali Supali terletak persis di tengah sawah di pinggir Desa Dadapan, Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. “Niki omah kulo, mpun miring bade ambruk. Badhe tindak pundi? (ini rumah saya, sudah miring mau roboh. Mau ke mana?),” ujarnya dalam bahasa jawa kental, Jumat.
Rumah tersebut berdinding bambu dengan tiang dan atap juga dari bambu memang dalam kondisi miring.
Rumah Supali didirikan di lahan salah watu warga Desa Dadapan. Letaknya yang berada di tengah sawah membuat gubuk Supali lebih sering di terpa angin kencang. “Kebaikan hati warga mendirikan rumah untuk saya, tanahnya juga nggak sewa. Pemiliknya pedagang dekat perempatan desa,” imbuhnya. Sebelumnya, Supali mengaku tidur di sembarang tempat karena sudah tidak memiliki rumah lagi sejak istrnya meninggal beberapa tahun silam.
Rumah satu-satunya milik mendiang istri dijual oleh anak tiri yang membuat Supali hidup menggelandang. Karena kasihan, warga akhirnya membuatkan gubuk kecil di tengah sawah untuk ditinggali Supali. Tidak ada perabotan apa pun di dalam gubuk sederhana tersebut.
Satu satunya tanda kehidupan hanya bekas pembakaran dari tungku yang terbuat dari batu susun di teras gubuk. Di sela pembicaraan, perut Supali terdengar berbunyi menandakan perut yang belum terisi makanan. “Makan ya nunggu ada yang memberi, berharap pada tetangga saja saya. Kadang nggak makan,” katanya. Pasrah Supali mengaku pasrah dengan hidup yang harus dijalani.
Di usianya yang renta, dia memilih lebih memasrahkan hidup pada yang Maha Kuasa. Dia mengaku setiap saat hanya mampu berdoa kapan pun nyawanya siap diambil. “Saya hanya bisa pasrah, karena hidup ini punya Yang Kuasa. Kapan pun diambil saya ikhlas,” ucapnya lirih.
Saat ini dia berharap ada warga yang berbaik hati memperbaiki gubuknya yang mulai miring. Gubuknya merupakan satu satunya tempat yang tersisa meski kadang lapar menderanya. “Tidak tahu mau ke mana lagi kalau rumah ini sampai roboh?” katanya.
Miran (60), tetangga terdekat Mbah Supali mengaku dulunya Supali memiliki beberapa istri. Setelah istrinya meninggal, Supali sempat dibawa anaknya yang berada di Pulau Sumatera. Namun karena tidak betah, Supali kembali ke Desa Dadapan. “Anaknya banyak, dulunya banyak istrinya.
Yang di sini meninggal, pas ditinggal di Sumatera rumahnya dijual oleh anak tirinya,” katanya. Supali mengaku mendapatkan bantuan beras dan BPJS dari perangkat desa. Meski memiliki anak dari beberapa istrinya, namun dia mengaku pasrah untuk menjalani sisa hidup di Desa Dadapan.
Demikianlah pokok bahasan Artikel ini yang dapat kami paparkan, Besar harapan kami Artikel ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, Penulis menyadari Artikel ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar Artikel ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.